Minggu, 31 Januari 2021

MABAR - EDISI JANUARI 2021

 


"DBD"

Rekan-rekan PLN UP3 Banten Utara yang sangat saya banggakan,

Pada kesempatan ini saya akan berbagi cerita mengenai pengalaman saya "Berurusan dengan Demam Berdarah Dengue"... Tapi harus dibaca sampai selesai yaa...

Dulu waktu kuliah di Bandung, saya pernah dua kali terkena DBD, atau Demam Berdarah Dengeu itu. Hobby begadang untuk main game Heroes, karena PC nya pinjam teman, pagi hari bukannya kuliah, eh malah nonton film India sampai ketiduran di depan TV, sepertinya menjadi kontributor, saya kena DBD itu. Seingat saya, di tahun kedua, dan tahun ketiga saya kuliah, saat peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, atau musim pancaroba di Kota Kembang.

Waktu pertama kena DBD itu, tidak sampai dirawat di Rumah Sakit. Meski panas tinggi ditambah pusing tidak kepalang, setelah dites darah, kadar trombositnya masih di atas 100 ribu, sehingga Dokter RS Boromeus waktu itu memutuskan rawat jalan, dan kontrol 2 hari lagi. Pesan dokter yang saya ingat : wajib minum obat, parasetamol utk penurun panas dan multivitamin. Satu lagi harus minum air putih yang banyak. 

Pesan dokter itu saya lakukan dgn memaksakan masak air sendiri, nggak enak dengan kawan satu kontrakan, kalau menghabiskan "aqua" galon, yang harusnya jadi jatah satu rumah kontrakan itu. Dua hari kemudian, saat periksa dokter lagi di RS Boromeus, aman, hanya sedikit di bawah 100 ribu trombositnya. Karena merasa badan sudah enak, saya tidak kembali untuk kontrol yang kedua, sayang uangnya. (Hal yang sebenarnya sangat berbahaya, yang baru saya tahu belakangan.... JANGAN DITIRU) 

Akhirnya jadi tahu, kalau DBD bisa sembuh sendiri, sekitar 7 hari dari pertama kali merasakan gejala, yang penting bisa menjaga kadar trombositnya tidak drop terlalu dalam, dengan tetap memaksakan diri untuk makan yang banyak, dan minum air yang banyak, meski risikonya jadi sering ke kamar mandi. Bahkan ketika setahun kemudian kena lagi, sudah tahu apa yang harus dilakukan, dan tidak di rawat di RS juga.

Tapi akhir Januari 2021 ini, saat 3 orang anak dan 1 orang ART di rumah kami kena DBD,  saya baru tahu bahwa implementasi atau eksekusi nya ternyata jauh beda dengan pengalaman saya dulu. 

Mindset saya ternyata harus berubah, "kondisi aktual"nya berbeda, "medan pertempurannya" berubah, dan menjadi pengalaman baru lagi untuk saya. Hal yang akan saya share kepada rekan-rekan PLN Banten Utara yang saya banggakan.

Pertama, kondisinya sedang pandemi Covid 19. Ada protokol dan SOP terkait Covid 19 yang harus dilewati, meski kita ke Rumah Sakit untuk berobat penyakit DBD misalnya. SOP dan Protokol yg kadang "panjang", "membingungkan", "melelahkan", dan bisa membuat keadaan penderita DBD lebih menurun lagi. 

Saran saya, agar bisa langsung ketemu dokter yg dituju di RS, lebih baik penderita dan pengantar melakukan rapid tes antigen lebih dulu di klinik yang antriannya tidak terlalu ramai.

Dengan modal surat hasil rapid tes antigen itu, urusan screening awal di RS akan lancar, bisa langsung ketemu dokternya. Kalau langsung ke RS, kadang prosedur dan antriannya terlalu panjang, karena harus bercampur dengan pasien lain dan masyarakat umum yg lain, para calon penumpang pesawat terbang misalnya.

Itu yang kami alami, saat dua putri kami, merasakan gejala pada hari Rabu, dan kami bawa ke dokter (di RS) pada hari Jumat, berangkat jam 08.00 WIB, urusan selesai jam 15.30 WIB. Hal yang menurut saya kontra produktif dengan tujuan ke RS, menurut saya pribadi, sebagai pengantar tentunya. Harusnya kalau normal maksimal sebelum sholat Jumat, semuanya sudah selesai.

Kedua, saat ini sudah ada tes NS1 , yang bisa menentukan seseorang apakah terjangkit Virus DBD atau tidak, sejak hari pertama terjangkit (tes NS1 hanya disarankan sampai dengan hari ke-7). Padahal dulu, pengalaman saya, butuh sekitar 3-4 hari untuk menentukan seseorang terjangkit DBD atau tidak, dari gejala pertama dirasakan. Dan itulah yang terjadi pada dua putri kami, sesuai hasil pengecekan hari jumat, trombositnya 170 ribu dan 140 ribu, diminta untuk cek lagi di hari minggu.

Hari sabtu, ternyata satu putri kami yang lain, dan satu ART kami, merasakan gejala yang mirip. Sehingga hari minggu, sesuai jadwal awal, sekalian saja, 4 orang (3 anak + 1 ART) kami periksakan ke RS, tentu setelah melaksanakan rapid tes antigen, agar bisa langsung ketemu dokter. 

Hasilnya seperti dugaan, yang sudah diperiksa hari Jumat, trombositnya melorot, ada yang tinggal 32 ribu bahkan, jadi harus dirawat di RS. Yang baru merasakan gejala di hari sabtu, setelah di-NS1 ternyata hasilnya juga positif DBD. Disinilah letak penting tes NS1, kami jadi tahu, dan bisa mengukur kemampuan sumber daya kami, dalam merawat 4 orang anggota keluarga yang menderita DBD. 

Ketiga, kalau hasil analisa dan evaluasi, terhadap kemampuan kita merawat pasien DBD, ternyata kita tidak bisa memastikan kadar trombositnya aman, lebih baik dirawat di RS. Titik kritis dalam menjaga kadar trombosit tetap dalam level aman, sebenarnya adalah menjaga asupan cairan pengganti ke tubuh penderita DBD. Dalam kasus keluarga kami, kami tidak berhasil karena ada yang merosot menjadi 32 ribu trombositnya. Itu baru merawat 2 orang, sementara ini 4 orang, sehingga keputusan dokter harus dirawat di RS semuanya, di hari minggu itu.

Keempat, saat penderita DBD terlihat membaik, justru itulah phasa kritis penyakit DBD. Hari minggu saat masuk RS putri kami trombositnya 32 ribu, pada senin pagi terlihat membaik keadaannya. Panas badannya menurun, sudah terlihat lebih aktif dibandingkan sebelumnya, yang lebih banyak tidur + terlihat berat mengangkat kepala. 

Sekali lagi "kelihatannya membaik", tapi hasil tes darah senin pagi, trombositnya tinggal 23 ribu. Senin jam 4 sore dicek, tinggal 14 ribu. Dalam hitungan jam (Senin jam 10 malam) dicek tinggal 6 ribu. Sehingga Senin tengah malam atau Selasa dini hari, harus dilakukan transfusi trombosit darah. Selasa sore baru membaik menjadi 11 ribu, setelah transfusi.

Tidak kebayang kan kalau posisi nya saat itu tidak dirawat di RS, masih di rumah seperti saya waktu di Bandung dulu misalnya, atau masih dalam perjalanan ke RS, atau sudah di RS tapi sementara menunggu proses administrasi, atau proses tindakan tapi belum ada stock darah yang cocok. 

Bandingkan dengan yang langsung dirawat di RS, sejak hasil NS1nya menyatakan positif DBD. 

Yang satu : Minggu 140 ribu, Senin 120 ribu, selasa 100 ribu, Rabu 78 ribu, Kamis 82 ribu, Jumat pulang dari RS. 

Yang lain : Minggu 249 ribu, Senin 189 ribu, Selasa 140 ribu, Rabu 120 ribu, Kamis 89 ribu, Jumat 86 ribu, penurunannya masih dalam batas aman untuk penderita. 

Dari data diatas dapat dilihat, meskipun dirawat trombosit anak masih terus turun, namun terkontrol. Kelebihan dirawat di RS adalah asupan cairan pengganti selalu terjaga, karena menggunakan infus. Kedua, karena dimonitor secara rutin, setiap tindakan yang diambil menjadi lebih pasti, dan sesuai kondisi penderita DBD nya. Waktu sangat penting, Penurunan trombosit darah bisa drop dalam hitungan jam, dan menimbulkan pendarahan di dalam tubuh, sehingga disebut Deman Berdarah (Dengue). 

Kelima, ternyata saat ini, atau sejak 2019, sudah ada Vaksin DBD. Kalaupun tidak diganti oleh fasilitas perusahaan, saya pribadi memilih untuk menggunakan Vaksin DBD itu untuk anak-anak kami. Jenis Virus Dengue penyebab DBD itu ada 4 jenis, jadi setiap orang bisa kena 4 kali. Setiap kali sakit DBD lagi, gejala yang dirasakan penderita, akan semakin berat, meski level penurunan trombositnya akan lebih rendah karena tubuh sudah punya kekebalan sebelumnya. Memang harga Vaksin DBD tersebut relatif tidak murah, tapi hitungannya jauh lebih murah daripada biaya wara-wiri ke RS selama perawatan.

Oh iya saya mengetik tulisan ini di hari Sabtu, sambil menunggu anak yang tertinggal, dan masih dirawat di RS, karena memang merasakan gejala nya juga terakhir di Sabtu siang. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan, keselamatan, dan perlindungan dari Yang Maha Di Atas. 

Tak lupa saya mengingatkan kita semua agar jangan lupa dengan Tata nilai kita : AKHLAK

    A manah, 

            K ompeten

                    H armonis

                            L oyal

                                    A daptif

                                                K olaboratif

Bukan sekedar dipigura kemudian ditempel di dinding, tapi ada di hati kita masing-masing dan kita laksanakan dalam pekerjaan kita sehari-hari.

Tetap Semangat dan Terus Bergerak

Baca MABAR - Edisi Januari 2021 Selengkapnya